COMMEMORATING 20 YEARS OF TSUNAMI AND PEACE IN ACEH

ABOUT COMMEMORATING 20 YEARS OF TSUNAMI AND PEACE IN ACEH

Bencana gempa bumi dan gelombang tsunami yang melanda sejumlah daerah pesisir pantai Aceh pada 26 Desember 2004 masih tergambar jelas bagi seluruh masyarakat Aceh. Bagaimana tidak, bermula dari gempa magni-tudo berkekuatan 9,3 yang terjadi sekitar pukul 07.59 WIB selama 10 menit, kemudian disusul gelombang laut dengan ketinggian hingga 30 meter, dan kecepatan mencapai 100 meter per detik atau 360 kilometer per jam, dalam 30 menit terjangan gelombang tersebut meluluh-lantakkan sebagian wilayah pesisir Aceh. Total nilai kerugian ditaksir menyentuh angka US$4,5 miliar kala itu yang membuat PBB menyatakan bahwa tsunami Aceh merupakan salah satu bencana kemanu-siaan terbesar yang pernah terjadi.

Bumi serambi mekkah porak-poranda, berdasarkan data PBB pada Januari 2005, korban meninggal mencapai 230.000 jiwa lebih, 500.000 orang kehilangan tempat tinggal, hingga Presiden Republik Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menetapkan 3 hari sebagai hari berkabung. Seluruh dunia hadir mengulurkan tangan membantu Aceh, proses rehabilitasi dan rekonstruksi berlangsung sejak 2005 hingga 2009 berhasil memulihkan kondisi Aceh. Rumah-rumah dan berbagai infrastruktur terbangun selama itu. Hal tersebut sangat disyukuri oleh seluruh masyarakat Aceh, dapat dilihat dari banyaknya monumen berbagai Bahasa di dunia berada di lapangan Blang Padang Kota Banda Aceh.

Proses rehabilitasi dan rekonstruksi sejak 2005 hingga 2009 berhasil memulihkan kondisi Aceh. Rumah-rumah dan berbagai infrastruktur terbangun dengan baik. Sikap solidaritas begitu kuat, dan kesadaran tolong menolong muncul dari peristiwa tsunami Aceh di tahun 2004. Hampir seluruh negara di dunia datang membantu Aceh. Bahkan saat itu Aceh terlihat menjadi bukan hanya milik Indonesia, namun milik dunia. Karena mengalir bantuan dari seluruh dunia. Semua membantu tanpa membedakan ras, suku dan agamanya tapi murni karena kemanusiaan. Begitu pun Aceh menerima bantuan itu tanpa melihat apa agama dan suku bangsa yang memberikan bantuan. Tsunami membuka pemahaman bahwa nilai kemanusiaan bekerja. Ini harus membuka kesadaran bahwa kita harus membuka diri. Sebagai contoh bagaimana komunitas agama seperti;  Catholic Relief Service (CRS), The Salvation Army (Bala Keselamatan), Islamic Relief, Budha Tzu Chi dan berbagai organisasi lainnya dengan berbagai program sebagai bagian dari kemanusiaan. Isu-isu keagamaan dan kemanusiaan telah menjadi titik fokus dalam pembicaraan global. Keduanya memainkan peran krusial dalam membimbing individu atau masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari, memberikan makna, dan mem-bentuk nilai-nilai moral yang menjadi fondasi budaya dan sosial.

Aceh merupakan provinsi yang mayori-tasnya masyarakat beragama Islam, namun kehidupan kaum minoritas yang non muslim tidak pernah terganggu kehidupannya di Aceh, tentunya berbagai keragaman baik dari segi agam, etnis dan budaya bukan hambatan bagi setiap manusia untuk saling hidup berdam-pingan. Kita kembali ke masa silam pada saat Aceh dilanda bencana Tsunami di mana begitu banyak korban pada bencana alam tersebut, gedung dan bangunan-bangun rusak parah dibawa terjangan air laut pada saat itu, namun hari ini kita sudah melihat kembali gedung-gedung dan bangunan sudah lebih bagus dan seakan-akan tsunami tidak pernah ada di bumi ini.

Tentunya kembalinya bangkit masyara-kat Aceh tidak terlepas dari bantuan kemanu-siaan yang diberikan seluruh dunia, tidak lama dari terjadinya bencana tsunami bantuan-bantuan tersebut berdatangan, baik itu logistik, obat-obatan, dan bantuan pembangu-nan seperti sekolah-sekolah, mesjid dan lain sebagainya. Bantuan kemanusian yang berasal dari mancanegara saat itu tentunya tidak pernah melihat perbedaan agama, ras, etnis, dan sebagainya. Bantuan itu datang turus atas dasar nilai-nilai kemanusiaan.

Moderasi Beragama merupakan salah satu solusi agar konflik-konflik keagamaan tidak terjadi lagi, sebagai masyarakat yang hidup dalam lingkungan keragaman sudah sepatutnya kita memiliki nilai-nilai kemanu-siaan yang tinggi. Sehingga dalam suasana global yang semakin kompleks dan beragam, isu-isu keagamaan dan kemanusiaan menjadi semakin penting untuk dipahami dan dibahas bersama. Oleh karena itu, dalam rangka memperingati 20 Tahun (Dua Dekade) Tsunami dan Perdamaian Aceh. Kami dari Tim Kerjasama Peguruan Tinggi ingin mengangkat kembali jejak pembangunan di Aceh Pasca Tsunami yang harmoni dalam perbedaan dalam sebuah kegiatan memperingati 20 Tahun  Tsunami dan Perdamaian Aceh dalam sebuah Tema "Religion, Togetherness and Humanity: Agama, Kebersamaan dan Kemanusiaan" bertujuan menjadi wadah bagi para akademisi, pemimpin agama, praktisi, dan masyarakat umum untuk bersatu dalam upaya memahami peran agama dalam membentuk kemanusiaan dan menciptakan fondasi untuk kerjasama lintas agama.

ABOUT COMMEMORATING 20 YEARS OF TSUNAMI AND PEACE IN ACEH

The earthquake and tsunami disaster that hit a number of coastal areas of Aceh on December 26, 2004 is still clearly visible to all Acehnese people. How could it not be, starting from a 9.3 magnitude earthquake that occurred at around 07.59 WIB for 10 minutes, then followed by sea waves with a height of up to 30 meters, and a speed of 100 meters per second or 360 kilometers per hour, within 30 minutes the waves devastated part of the coastal areas of Aceh. The total loss was estimated to have reached US$4.5 billion at that time, which made the UN declare that the Aceh tsunami was one of the greatest humanitarian disasters that had ever occurred.

The land of the Veranda of Mecca was devastated, based on UN data in January 2005, the death toll reached more than 230,000 people, 500,000 people lost their homes, until the President of the Republic of Indonesia at that time, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) declared 3 days as a day of mourning. The whole world came to help Aceh, the rehabilitation and reconstruction process that took place from 2005 to 2009 succeeded in restoring the condition of Aceh. Houses and various infrastructures were built during that time. This was greatly appreciated by the entire Acehnese community, as can be seen from the many monuments of various languages ​​in the world in the Blang Padang field, Banda Aceh City.

The rehabilitation and reconstruction process from 2005 to 2009 succeeded in restoring the condition of Aceh. Houses and various infrastructures were built well. The attitude of solidarity was so strong, and the awareness of helping each other emerged from the Aceh tsunami in 2004. Almost all countries in the world came to help Aceh. Even at that time Aceh seemed to belong not only to Indonesia, but to the world. Because aid flowed from all over the world. Everyone helped without distinguishing race, tribe and religion but purely because of humanity. Likewise, Aceh received the aid without looking at the religion and tribe of the people who provided the aid. So the tsunami opened up an understanding that humanitarian values ​​work. This must open up awareness that we must open ourselves up. For example, how religious communities such as; Catholic Relief Service (CRS), The Salvation Army, Islamic Relief, Budha Tzu Chi and various other organizations with various programs as part of humanity. Religious and humanitarian issues have become the focus of global discussions. Both play a crucial role in guiding individuals or communities in living their daily lives, providing meaning, and forming moral values ​​that become the foundation of culture and society.

Aceh is a province with a majority Muslim population, but the lives of non-Muslim minorities have never been disturbed in Aceh, of course, various diversities in terms of religion, ethnicity and culture are not obstacles for every human being to live side by side. We return to the past when Aceh was hit by the Tsunami disaster where there were so many victims of the natural disaster, buildings and structures were badly damaged by the sea water at that time, but today we have seen buildings and structures that are better and as if the tsunami never existed on this earth.

Of course, the revival of the Acehnese people cannot be separated from the humanita-rian aid provided by the whole world, not long after the tsunami disaster, the aid arrived, be it logistics, medicines, and development aid such as schools, mosques and so on. Humanitarian aid from abroad at that time certainly never saw differences in religion, race, ethnicity, and so on. The aid came continuously on the basis of humanitarian values.

Religious Moderation is one solution so that religious conflicts do not happen again, as a society living in a diverse environment, we should have high humanitarian values. So that in an increasingly complex and diverse global atmosphere, religious and humanitarian issues become increasingly important to understand and discuss together. Therefore, in order to commemorate 20 Years (Two Decades) of the Aceh Tsunami and Peace. We from the Higher Education Cooperation Team want to bring back the traces of development in Aceh Post-Tsunami which is harmonious in differences in an activity commemorating 20 Years of the Aceh Tsunami and Peace with a Theme "Religion, Togetherness and Humanity (Agama Kebersamaan dan Kemanusiaan)" aims to be a forum for academics, religious leaders, practitioners, and the general public to unite in an effort to understand the role of religion in shaping humanity and creating a foundation for interfaith cooperation.